Kamis, 09 Februari 2012

Pasar Malam


Matahari kini telah kembali keperaduannya mengganti lukisan alam biru sejuk menjadi jingga, memberi kesempatan untuk Dewi Malam menyinari bumi dengan cahaya lembutnya. Hari ini teman orang tuaku datang dari kota, mereka akan mengadakan liburan di desaku. Dia membawa serta kedua anaknya yang terlihat tidak suka dengan rencana liburan ibunya. Kedua anaknya hanya sibuk dengan kegiatan mereka masing – masing dan tidak ada yang memperhatikan jika ada arang tua yang sedang bicara, sungguh tidak sopan!
Teman orang tuaku bernama Ibu Tika. Dari wajahnya terlihat bahwa dia adalah orang yang baik, ramah, mudah bergaul dan itu sangat berbeda 1800 dengan anaknya. Anak pertama Ibu Tika seorang laki – laki yang bernama Ahmad dan terlihat sekali kalau dia sangat sombong, cuek, tidak ramah, egois, dan...sangat membosankan. Sementara anak keduanya yang otomatis adalah adik dari Ahmad bernama Ziddah. Gadis SMP ini memang manja, takut akan yang sedikit kotor, suka dandan dan yang paling aku benci dan boleh di garis bawahi adalah dia sangat ENDEL alias centil.
“Salam kenal...”Aku mengulurkan tanganku setelah Ibu Tika memperkenalkanku pada kedua anaknya. Namun bukan jabatan tangan yang bersahabat yang kudapat melainkan hanya tatapan tidak suka dan rasa jijik yang mereka perlihatkan. Aku menarik kembali uluran tanganku dan hanya bisa melorotkan bahu dan tidak percaya bahwa sikap mereka bisa separah ini. “Oh Tuhan...salah apa aku ini hingga bisa bertemu dengan orang seperti mereka”, hanya itulah yang bisa aku pikirkan.
Orang tuaku dan Ibu Tika kembali bercanda gurau mengenang masa – masa kecil mereka yang mereka lalui bersama tanpa memperdulikan aku yang semakin sesak napas karena dicuekin oleh mereka. Rasanya aku ingin berteriak kepada mereka semua untuk memperhatikanku, tapi itu rasanya sangat imposible. Karena aku sudah benar – benar bosan dengan suasana yang ada di ruang keluarga ini, aku undur diri untuk menuju surga pribadiku.
“Zakia, selama liburan ini Ziddah akan tidur di kamarmu. Kau tidak keberatankan?” Mata ibu terlihat mendesakku. Dan aku hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui perkataan ibu tercintaku. Aku kemudian menghampiri Ziddah, mengajaknya untuk beristirahat di kamarku.
“Hai Zakia, bawa koperku!” Perintahnya.
“Apa?!” Aku kaget dan kulihat dia tetap memainkan i-pod yang dia bawa. Karena aku tidak ingin berdebat dengan Ziddah, maka aku mematuhi apa yang dia perintahkan. Aku terlihat seperti babunya Ziddah. Duh...benar – benar hari yang menyebalkan.
Aku berjalan di belakang Ziddah mengikutinya menuju kamarku membawa koper Ziddah yang sangat berat. Aku bisa membayangkan apa yang dia bawa di dalam kopernya. Aku yakin kopernya berisi baju – baju kotanya, alat – alat make up, boneka dan segala sesuatu yang biasanya di bawa oleh anak manja. Begitu tiba di kamarku, dia langsung membantingkan tubuhnya ke tempat tidur tanpa permisi kepadaku selaku pemilik sah tempat ini. Kutaruh kopernya di samping pintu masuk lalu aku berjalan menuju almariku bermaksud untuk mengambil baju tidurku.
“Apakah ini benar kamarmu?” Suara Ziddah memecah keheningan yang tadi tercipta di antara kami berdua.
“Tentu saja. Bagaimana bisa masuk kemari jika ini bukan kamarku.” Aku berjalan meninggalkan almariku.
“Kamarmu bagus juga.”
Ah..., rasanya kepalaku sudah membasar mendengar pujiannya. Baru kali ini ada orang yang memuji kamarku, bahkan ayah dan ibuku saja tak pernah memuji kamarku.
“Tapi....” Aku membalikkan badanku menghadap Ziddah dan senyum yang tadi sempat sedikit berkembang di wajahku mulai menghilang. “Kamarmu kurang besar di bandingkan kamarku.”
Aku mengerutkan dahi kaget dengan apa yang ia katakan. “Kamarmu juga kurang berwarna, terus tempat tidurmu kurang empuk dan sangat kecil, tidak ada kamar mandi juga dalam kamarmu, lalu...”
“Aku tidak butuh komentarmu!” Potongku dengan nada sinis. Aku sudah tak tahan lagi dengan anak ini. Seenaknya saja mengomentari kamar orang lain, apalagi di sini dia hanya menumpang dan aku bisa mengusirnya dari kamarku sewaktu – waktu jika aku mau. Kalau dia bukan anak SMP dan anak dari teman orang tuaku, sudah kujadikan bregedel dia.
Aku keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengganti bajuku menjadi baju tidur. Biasanya aku berganti baju di kamar, tapi karena ada anak itu aku terpaksa pergi ke kamar mandi. Setelah selesai aku menuju ke kamar lagi, bersiap merebahkan badanku yang sudah seperti robot yang kehabisan olie sebagai pelumasnya.
“Zakia, tadi Deny kemari.” Ibuku yang tiba – tiba muncul dari arah dapur.
“Kenapa, bu?”
“Ibu tidak tahu. Dia hanya berpesan kalau kau harus menelponnya hari ini.”
“Baiklah,bu. Aku nanti akan menelponnya.” Aku kembali berjalan menuju kamar dan meninggalkan ibu sendiri di dapur.
Kututup kembali pintu kamarku setelah aku memasukinya. Ku raih ponselku yang tergeletak di atas meja belajarku, mencari – cari nomor orang yang ingin ku hubungi atau tepatnya harus ku hubungi. Setelah mendapatkannya ku tekan tombol hijau bergambar gagang telepon dan suara TUT...TUT...TUT...yang berbunyi, tanda panggilan teleponku berhasil hanya sabar menunggu dia menerima panggilanku.
“Hai Zakia, ada kabar paling menggemparkan di dunia dan akan membuat jantungmu berdegup kencang!” Ku jauhkan Hpku dari telingaku yang tak kuat mendengar teriakannya.
“Jangan berteriak di telepon.”
“Ah,maaf.”
 “Hm...Apa beritanya hingga kau harus berteriak seperti itu?” Aku penasaran.
“Mm...beritanya...adalah...” Dia menghantikan kata – katanya.
“Ayo katakan...jangan membuatku panasaran.”
“Besok akan ada pembukaan Pasar Malam!” Katanya dengan semangat.
Sejenak aku mencoba mencerna apa yang dia katakan dan...”Benarkah?! Yeach!” Teriakku tak kalah semangat dengannya.
“Hai, sekarang kau yang membuat gendang telingaku akan jebol.” Aku membalikkan badan melihat sejenak Ziddah yang sudah tertidur di kasurku. Tak ada reaksi terganggu teriakkanku darinya, dia tetap terlelap dalam mimipi indahnya seakan tak ada yang bisa membongkar dinding pembatas antara dunia nyata dan dunia mimipinya.
“Maaf. Kalau begitu besok kita pergi ke sana bersama, ok.”Aku menutup pembicaraan ini. Aku mencari tikar dan menggelarnya di lantai memberinya bantal untuk kepalaku dan selimut untuk menghangatkanku.
Petangnya aku bersiap – siap untuk pergi ke Pasar Malam bersama Deny seperti yang kita janjikan kemarin malam. Aku sudah siap dengan segala dandananku untuk mengunjungi Pasar Malam yang hanya terjadi satu kali setahundi desaku. Maklum...di desaku tidak ada yang namanya Trans Studio, ancol, ataupun taman hiburan yang megah di mana – mana. Aku menuju ruang makan untuk makan malam bersama keluargaku. Namun ada sebuah pemandangan yang hebat yang aku lihat,
“ Hai, aku minta tissumu donk!” Ahmad merebut tissu yang ada di tangan Ziddah.
Sontak Ziddah kaget,” Kak, inikan tinggal satu. Kau ambil saja milikmu sendiri.” Dia mengambil kembali tissunya.
Beberapa menitpun mereka habiskan untuk saling berebut satu tissu yang ada. Tak ada yang mau mengalah baik sang kakak maupun sang adik, mereka benar – benar keras kepala. Aku hanya bisa melihat mereka yang berkelakuan seperti anak – anak, sungguh mamalukan untuk ukuran anak kuliahan dan SMP.
“ Ini untukmu saja, kak. Aku mau ambil milikku di koper.” Dia pergi meninggalkan kami semua menuju ke kamarnya yang sebenarnya kamarku juga. Setelah dia meninggalkan ruang makan, aku melihat Ahmat mengelap sendok, garpu, dan piring yang akan dia gunakan.
“ Itu sudah dicuci, dan dijamin kestrerillannya 100%.” Aku mengejeknya dan kutatap sinis pada dia.
“ Aku tidak yakin. Inikan desa yang kotor, jadi air di sini tak bisa dijamin 100% kesterillannya.” Dia sedikitpun tak menatap ke arahku saat bicara, hanya tetap melanjutkan acara bersih – bersihnya. Ku genggam sendokku dengan erat. Jika sendok itu hidup, aku yakin dia akan berteriak kesakitan karena genggamanku.
Kurasa Ibu Tika tahu apa yang sedang aku rasakan dan dia berkata padaku, “ Maafkan dia, nak. Sifatnya memang seperti itu.” Ibu Tika tersenyum padaku yang membuat dingin kembali hatiku yang hampir saja terbakar.
Saat kami akan memulai makan, Ziddah datang. “ Syukurlah aku tidak lupa membawa alat makanku. Perasaanku memang tak pernah salah.” Dia duduk kembali di kursinya. Mengambil nasi dan lauk – pauknya tanpa memperhatikan kami semua. Tak ku sangka dia lebih parah dari kakaknya!
Kami kembali makan malam hingga selesai. Dan kemudian aku meminta izin untuk pergi bersama Deny menghadiri pembukaan Pasar Malam.
“ Zakia, boleh tidak bibi minta bantuan?”
“ Apa, bi?”
“ Tolong ajak Ahmad dan Ziddah ke sana juga ya?” Pinta Ibu Tika. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda aku menyetujuinya.
Dan dengan berat hati aku mengajak mereka berdua ke pasar malam. Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pertigaan yang ku gunakan untuk janjian dengan Deny. Dan selama perjalanan itu tak henti – hentinya aku mendengar kedua orang itu mengeluh. Jalan yang becek, gelap, penuh kerikil, dan banyak hal lainnya yang mereka keluhkan. Kupingku panas mendengar keluhan mereka, rasanya aku ingin melakban mulut mereka, mengikat tangan mereka dan menariknya tanpa banyak bicara. Namun bayanganku itu hanya bayangan, jika benar – benar kulakukan maka aku akan menjadi seorang kriminal.
Kuhampiri Deny yang terlihat berdiri di bawah cahaya lampu penerangan pertigaan ini. “ Kau menunggu lama?” Tanyaku.
Dan seketika itu juga dia menatapku tajam, “Aku sudah kering menunggumu di sini. Kemana saja, kau?” Aku hanya meringis tanda penyesalan. “ Siapa mereka?” Tambahnya yang kemudian mengalihkan pandangannya ke belakangku.
“ Oh, mereka anak dari teman orang tuaku. Ini Ahmad, dan ini Ziddah.” Aku memperkenalkan mereka pada Deny.
“Hai, aku Deny.” Dia mengulurkan tangannya mencoba akrab pada Ahmad dan Ziddah. Namun tak satupun dari mereka yang membalas uluran tangan Deny. Dengan sebalnya dia meraih tangan Ahmad dan Ziddah bergantian, memaksa mereka untuk menjawab uluran tangannya.
“ Ini lebih sopan!” Bentaknya.
Tanpa membuang waktu kami melanjutkan perjalanan menuju ke pembukaan pasar malam. Tempat perhelatan itu memang sedikit jauh, namun semua itu takkan terasa jika kami berjalan bersama. Itu yang aku pikirkan bersama Deny dan ternyata berbeda bagi Ahmad dan Ziddah. Mereka terlihat tidak menikmati perjalanan ini. Angin malampun membisikkan keluh kesah yang mereka lontarkan bersahutan dan itu membuatku dan Deny menahan tawa.
Sesampainya di lokasi, aku berlari menuju Dremulen yang sering orang Jawa bilang atau dalam Bahasa Indonesianya Sangkar Burung. Deny mengikutiku dari belakang yang kebetulan kesukaan kami memang sama sejak kecil. Kami selalu menghadiri pasar malam yang diadakan satu tahun sekali, dan permainan pertama yang kami tuju adalah Sangkar Burung. Ahmad dan Ziddah mengikuti Deny yang menuju kearahku. Aku langsung masuk ke permainan itu bersama Deny.
“ Apakah kalian mau naik itu?” Tanya Ziddah yang terlihat jijik dengan permainan ini.
“ Memang tidak ada tempat yang lebih bersih dari pada ini?” Tambah Ahmad yang tak kalah jijiknya dengan sang adik.
“ Kalau kalian merasa tidak nyaman dan jijik, ya...tidak usah naik. Tunggu saja kami di situ.” Ejekku.
“ Kalau takut ga’ usah dipaksakan.” Kata Deny yang tanpa disadari juga mengejek mereka.
Mungkin karena merasa gengsi, Ahmad menarik tangan adiknya dan mengajak dia masuk ke Sangkar Burung. Seperti biasanya, sebelum menyentuh pintu permainan itu dia meminta tissu kepada adiknya dan mulai mengelap tempat itu.
“ Seribu tissupun tak akan cukup untuk membersihkan itu semua.” Ejekku lagi.
“ Lagi pula kau akan dimakan orang –orang yang sudah lama mengantri di belakangmu.” Tambah Deny. Kami tertawa kemudian menutup pintu tempat kami.
Ahmad membalikkan badannya untuk melihat orang – orang yang sudah antre dari tadi. Tatapan tiap orang berbeda, dari yang hanya biasa – biasa saja hingga yang terlihat ingin mengamuk. Karena takutnya Ahmad mendorong Ziddah yang bingung dengan perubahan sikap Ahmad masuk ke tempatnya. Mereka duduk manis mencoba menikmati tiap putaran yang disediakan oleh panitia kepada pengunjung. Dan sesekali terdengar teriakan dari kedua kakak beradik itu yang mulai terlihat menikmati permainannya.
Setelah putaran berakhir, kami semua turun. “ Bagaimana?” Tanya Deny yang terdengar lebih kepada meminta pengakuan.
“ Ini masih kalah dengan London Eye yang ada di London. Maupun permainan yang sama yang ada di Jakarta.” Komentar Ahmad cuek.
“ Benar, sangat tidak menarik.” Ziddah memperbaiki tatanan rambutnya dan bedaknya. Ternyata dia membawa cermin beserta asesoris make upnya. Dia benar – benar manja.
“ O...” Jawabku. Aku membalikkan badan menjauhi mereka dan tersenyum tanpa mereka ketahui. Aku tertawa karena walaupun mereka mengelak, mereka memberikan komentar. Yang artinya mereka juga menikmati permainan ini.
Satu demi satu permainan orang dewasa yang ada di pasar malam ini kami coba. Dan perlahan kulihat kakak beradik itu mulai menampakkan wajah senang mereka. Ziddah dengan terang – terangan mengakui bahwa dia menyukai permainan yang ada di pasar malam ini, namun berbeda dengan Ahmad yang masih mengenakan jaket egonya dia tidak mengakui bahwa dia mulai menyukai permainan di sini. Padahal sudah sangat terlihat kalau dia mulai menyukai tempat ini. Benar kata orang, ego seorang manusia bisa mengalahkan semuanya. Dan di pada Ahmad.
“ Jangan harap aku akan mengatakan kalau aku menyukai tempat ini sampai aku berkata, Waw!” Itu kata sombongnya.
“ Ku pegang kata – katamu itu. Jika aku dan Deny bisa membuat kau berkata, “Waw!” maka kau harus melaksanakan apa yang kami perintahkan.” Ancamku.
“ Baik!” Jawabnya dengan Pe – Denya.
Aku dan Deny sebenarnya berusaha untuk membuatnya bisa berkata “Waw!”. Namun semua yang kami lakukan seakan sia – sia. Dia dengan baiknya menyembunyikan raut wajah senang dan terkesimanya di balik wajah datarnya. Hampir saja aku dan Deny berputus asa untuk membuatnya berkata “Waw!”. Hanya satu kata yang sering orang ucapkan setiap hari, jam, menit dan detik dengan mudahnya, namun begitu berat untuknya.
“ Bagaimana jika kita kalah?” Takut Deny. Dia mengajakku bicara empat mata.
Sejenak aku terdiam berpikir dan melihat sekitarku, dan... “ Aku punya ide!”
“ Apa?”
“ Begini...” Aku membisikkan ideku kepada Deny karena jika tidak begitu, semua orang termasuk dia akan tahu dan rencana kami akan gagal total.
Setelah selesai membisikkan rencanaku, aku dan Deny mengajak kakak dan adik itu ke suatu tempat dimana aku yakin mereka tak pernah pergi ke sana. Dengan percaya dirinya, aku dan Deny mengajak mereka masuk ke dalam tempat itu. Begitu pintu terbuka sudah terdengar suara motor yang di geber – geberkan, sangat berisik.
“ Tempat apa ini?” Kata Ahmad dengan nada yang agak keras agar kami mendengarnya.
“ Kau akan tahu sendiri.” Ucapku.
Kami berjalan ke arah tangga menuju lantai atas tempat para penonton berada, agar kami dapat melihat atraksi Tong Edan tanpa batasan pemandangan. Riuh riang penonton memenuhi ruangan itu, bersorak memuji atraksi para rider Tong Edan. Atraksi yang mereka pertontonkan begitu menarik, dari yang biasa sampai yang membuat jantung melompat dari tempatnya. Ku lihat wajah Ahmad menegang, takut jika salah seorang rider itu saling bertabrakan. Berbeda dengan Ziddah yang sangat menikmati pertunjukkan ini.
Samar – samar kudengar Ahmad berkata, “ Waw! Keren banget....” Wajahnya sangat menikmati pertunjukan itu. Aku memandangnya meminta sebuah pernyataan, namun dia hanya memalingkan wajahnya kembali melihat atraksi Tong Edan.
Setelah selesai meliha, kami turun dari tempat para penonton melihat. Kami berhenti di sebuah tempat istirahat dekat dengan pintu keluar.  Dan lagi aku menatapnya untuk meminta sebuah penjelasan.
“ Baik...aku akui kalau aku menyukai tempat ini dan permainan terakhir itu.” Dia terlihat menyesal mengatakannya.
“ Dengan begitu kau tahu hukumannyakan?” Tanya Deny senang. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
Sejenak semua terdiam, saling memandang satu sama lain. Ahmad terlihat berkomat – kamit mengucapkan mantra doa, berharap hukuman yang kami berikan tidak berat.
Aku mulai mulai membuka mulutku, berkata... “ Kalian harus mau menjadi sahabat kami. Bagaimana?”
“ Apa?!” Ziddah kaget
“ Iya...benar. kau kira kami akan menghukum dengan hukuman seperti yang anak kota lakukan? Itu sangat tidak berguna...”
“ Kami hanya ingin kalian sedikit merasakan penderitaan. Tapi...ini bukan penderitaan, sih...” Tambah Deny.
“ Bagaimana?” Aku dan Deny serempak.
Mereka saling memandang satu sama lainnya. Dan ku lihat tatapan Ziddah seakan berkata, “ Jangan diterima, kak.” Namun tatapan Ahmad hanya datar. Aku tak dapat membaca apa yang ada dalam pikirannya.
Dia menghadap kami dan... “ Baik, aku terima.” Kami tertawa senang.
“ Kak...” Rengek Ziddah.
“Apa salahnya berteman dengan anak desa?” Jawabnya cuek kemudian berjalan menjauhi kami.
“ Hai, pintu keluarnya ke arah sisi.” Aku menunjuk sebuah pintu yang bertuliskan “Exit”.
“ Aku hanya ingin berkeliling sebentar.” Elaknya supaya tidak terlihat seperti orang yang salah arah, walaupun kenyataannya begitu...  
Setelah kejadian itu, kami berempat sering bermain bersama walaupun usia kami sudah terbilang bukan anak – anak, khususnya untuk Ahmad yang kini kuliah. Liburan kami habiskan dengan suka ria, mengukir sebuah kenangan indah bersama sahabat. Ahmad dan Ziddah kini tidak lagi merasa sok bersih, bahkan mereka mau membantu orang tuaku di bawah teriknya matahari untuk menanam padi. Kebetulan di desaku sekarang musim padi. Satu hari...tiga hari...hingga tujuh hari liburan telah kami lewati bersama. Dan pada hari ini mereka sekeluarga pamit untuk pulang ke kota.
“ Terimakasih, Zakia. Kau sudah mengubah perilaku kedua anak kami.” Ucap Ibu Tika.
“ Bukan hanya karena aku, bi. Tapi ini juga berkat bantuan Deny...”
Ibu Tika berjalan menghampiri Deny, “ Terimakasih ya, Deny...”
“ Tidak usah sungkan, bi. Jika mereka berbuat nakal lagi dan manja, bawa mereka kemari. Aku akan kembali memberi mereka pelajaran.” Deny dengan percaya dirinya yang 1000%.
Kami semua tertawa, dan perpisahanpun di mulai. Ziddah terlihat meneteskan air matanya tak rela jika mereka harus pulang ke Jakarta. Sementara Ahmad hanya mencoba sok kuat di depan kami semua. Untuk kali ini dia harus benar – benar menjaga gengsinya karena diakan laki – laki. Mana mungkin seorang laki – laki menangis hanya gara – gara berpisah, pasti semutpu akan tertawa melihat itu.
Dan semua itulah awal dari persahabatan kami yang abadi. Orang kota dan desa yang benar – benar bertolak belakang bisa bersahabat dengan baik. Percaya tidak percaya tapi ini adalah kenyataannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar