Kamis, 29 Desember 2011

CerPen


THE DARK
Akhir-akhir ini banyak pembunuhan yang terjadi di kotaku, Kyoto. Sudah ada 10 kasus pembunuhan dan semua pembunuhan itu tak ada yang berhasil di ungkap oleh polisi. Aku menjadi semakin takut walaupun kebanyakan korbannya adalah sampah masyarakat yang selalu menyusahkan. Tapi tidak menutup kemungkinan pula warga biasa bisa menjadi korbannya pula. Tak ada jejak ataupun bukti yang tertinggal di TKP, semua dilakukan dengan bersih. Pelaku bukanlah kelas kakap tapi lebih besar, mungkin kelas hiu.
“ Akari ..., ayo cepat kita pulang. Jangan lihat terus, kamu tidak akan bisa membantu polisi mengungkap kasus ini. Tidak ada kasus pembunuhan yang selama ini bisa di ungkap. Ayo pulang.....”
“ Iya kak....., aku memang gak bisa mengungkapnya tapi suatu saat aku akan mengungkapnya.”
Akari Kenzo, itulah namaku. Aku adalah anak kelas 3 di SMA Kyoto. Selama ada kasus pembunuhan ini aku selalu mengikutinya. Aku memang ingin menjadi seorang detektif yang handal dan selalu bisa mengungkap semua kasus. Aku mempunyai kakak yang....bisa dibilang penakut, namanya Kyosuke Kenzo. Dia sangat tidak ingin aku mengikuti setiap kasus yang ada. Kakak tidak mau aku menjadi detektif.
“ Akari, kamu jangan lagi melihat kasus-kasus yang ada.”
“ Kenapa kak? Akukan ingin mencoba melihat kasus yang biasanya di pecahkan oleh detektif.”
“ Tapikan......bagaimana kalau kamu yang menjadi sasaran para pembunuh itu?”
“ Kakak jangan takut. Setiap perbuatan baik pasti akan mendapat hal yang baik pula.” Aku tersenyum dan pergi ke kamar.
Aku menjadi penasaran dengan kasus-kasus yang sulit dipecahkan oleh polisi. Banyak hal yang menjadi ganjal, seperti tidak adanya senjata yang digunakan oleh pembunuh dan tidak ada darah yang berceceran jika senjata yang digunakan itu di bawa pulang.
“ Akari...ayo sarapan dulu.” Ibu menyiapkan sarapan.
“ Iya bu....” aku menuruni tangga kamarku.
“ Kakak mana bu?”
“ Dia tadi sudah berangkat. Katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”
“ Sok sibuk!” kataku jutek.
“ Jangan begitu, kakakmu itu juga harus bekerja untuk kita.”
Aku diam seribu kata. Setelah sarapan aku langsung berangkat ke sekolah. Aku masih ingin tahu bagaimana pembunuhan itu terjadi. Tapi aku berencana ingin membicarakannya dengan Ken Hiragama. Dia adalah temanku, dia sangat ahli dalam memecahkan masalah. Dia sudah magang di kepolisian sebagai detektif, hampir semua kasus dapat ia selesaikan. Dia sangat pandai.
“ O....., sepertinya ini sangat menarik. Kasus yang sulit dipecahkan adalah kasus yang sangat........menarik.”
“ Jangan hanya bilang menarik....... Kau harus membuktikannya.”
“  Iya, aku tahu. Nanti pulang sekolah kita ke lokasi. Bagaimana?’
“ Tawaran yang bagus.”
Kamipun langsung ke lokasi begitu bel pulang sekolah berbunyi. Kami mencoba menelusuri tempat di sekitar lokasi pembunuhan untuk mencari bukti-bukti yang mungkin tak terlihat oleh polisi. Tapi sayang, tak satupun bukti yang bisa kami temukan dilokasi.
“ Ini memang kasus yang sulit untuk dipecahkan. Tak ada bukti sama sekali.”
“ Bukankah tadi aku sudah bilang, ini sangat membingungkan.’
“ Tapi kukira tak serumit ini.”
“ Kalau begitu, kita pulang saja. Kita cari tahu lain waktu lagi.” Aku mengajaknya pulang.
Baiklah. Ayo!” kulihat dia sedikit kecewa tak menemukan bukti apapun di sini.
Kasus ini semakin hari semakin sulit untuk di ungkap. Bahkan polisi memutuskan untuk menghentikan kasus ini karena tak ada bukti maupun saksi yang bisa mengungkap kasus ini. Dan kasus ini tak terjadi lagi, entah sudah cukup atau..., malah mencari waktu senggang untuk melakukan pembunuhan yang lain, atau sedang mencari korban berikutnya? Kotaku kini kembali menjadi kota yang normal, tak ada lagi rasa ketakutan yang dulu pernah melanda kota ini. Masyarakat tak lagi takut untuk keluar rumah setelah kasus ini dinyatakan ditutup dan tak adanya lagi kasus yang terjadi. Sudah hampir satu bulan tak ada lagi pembunuhan, tak ada lagi korban, dan tak ada lagi tangis kehilangan.
Dan minggu depan aku sudah di wisuda. Kami semua lulus dengan predikat yang baik. Setelah lulus aku akan kuliah ke fakultas hukum, sementara Ken akan ke sekolah tinggi kepolisian.
“ Sayang, ibu senang sekali kau bisa lulus dengan nilai yang baik. Ibu bangga padamu.” Ibu memujiku.
“ Tentu saja bi, diakan nyontek aku....” sela ken.
“ Enak saja, bukannya kamu yang nyontek aku.....” ku ejek balik dia.
Kami saling mengejek dan tertawa bersama. Aku dan Ken memang sudah berteman sejak TK, dan baru kali ini kami tidak satu sekolah. Kami memilih apa yang kami pilih, tapi walaupun kami tidak satu sekolah lagi, kami tetap akan menjadi teman selamanya.
Tak lama kemudian namaku dipanggil untuk menyerahkan ijazah tanda aku sudah lulus dan disusul oleh Ken. Kami sengat bahagia telah melewati tiga tahun di SMA.
“ AAAAAAA” DRAAAKKKK!!!!
“ Apa itu?” semua orang bingung dan lari menuju ke pinggir jalan raya.
Suasana yang tadinya sangat bahagia kini berubah menjadi mencekam. Semua orang berkerumul mengelilingi korban kecelakaan. Akupun penasaran dan pergi untuk melihatnya. Tapi......, betapa sakit dan hancurnya hatiku begitu ku lihat korban itu,
“ Ibu...!!!!!!” aku berteriak sekeras yang ku bisa, air mataku menetes begitu deras dan tak hentinya.
Tak kusangka ternyata di hari bahagiaku ini aku harus menerima kenyataan bahwa ibuku menjadi korban tabrak lari. Ken menelpon ambulan untuk membawa ibu ke rumah sakit. Aku tak peduli orang yang ada di sekitarku yang kupedulikan hanya ibu yang berlumuran darah di kepalanya.
Tak berapa lama ambulan datang dan ibu langsung dilarikan ke rumah sakit yang terdekat dan dalam perjalanan ibu mendapat pertolongan pertama. Tapi....sebelum sampai ke rumah sakit tujuan, ibu sudah dinyatakan meninggal karena pendarahan di otak dan banyaknya darah yang keluar sehingga dia kehabisan darah. Seketika itu pula tangisku pecah. Aku tak bisa terima dengan apa yang terjadi pada ibuku. Aku merasa semua ini tak adil bagiku. Kenapa saat aku merasa bahagia, aku juga kehilangan orang yang paling ku sayangi.
“ Kenapa kau menangis? Bukankah kau yang membunuhnya?” suatu suara yang tiba-tiba terdengar samar.
Aku kaget dan kulihat di sekitarku yang terlihat normal saja dan aku abaikan suara itu. Kamipun tiba di rumah sakit, dan ibu langsung di bawa ke kamar mayat untuk dilakukan otopsi dan jenazah ibu dibersihkan.
“ Kau tetap masih menangis? Kenapa? Inikan kau yang menginginkannya?”
Suara itu datang kembali. Ku lihat di sekitarku yang sepi. Akupun menjadi ketakutan.
“ Siapa kau?! Mau apa kau padaku?”  aku berteriak sendiri .
“ Ha...ha...ha... kenapa kau bertanya? Aku ini adalah dirimu.”
“ Apa maksudmu? Keluar kau! Tunjukkan siapa dirimu dan hadapi aku.”
“ Sudah ku bilang, aku adalah dirimu dan kita adalah satu. Tak ada yang dapat memisahkan kita.”
Aku semakin ketakutan mendengar suara itu. Kututup telingaku agar aku tak lagi mendengar suara itu. Aku terus menutup telingaku dan isak tangisku menghiasi ketakutanku.
“ Akari!” Sebuah tangan menyentuh bahuku.
Aku tersentak kaget dan ku coba memalingkan badanku ke arah orang yang ada di belakangku. Dengan badan yang gemetar dan rasa ketakutan yang makin  besar, ku coba untuk memandang orang itu. Begitu ku pandang dia, dan aku tahu bahwa dia adalah kakak, aku langsung memeluknya dan tangisku pecah kembali.
“ Kakak...maafkan aku...,aku tidak bisa menjaga ibu...”
“ Sudah..., jangan menyalahkan diri sendiri. Semua ini bukan salahmu, semua ini sudah ditakdirkan. Kau tidak salah.” Kakak mencoba menenangkanku dan dia juga menahan air matanya agar tidak keluar.
Keesokan harinya acara pemakaman pun diadakan di rumah kami. Banyak orang-orang yang datang untuk ikut mengantar ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Kami semua merasa sangat kehilangan dia.
“ Sabar ya Akari,,,,, kau jangan terlalu lama terpuruk. Ok?! Kau masih punya kakak dan aku.” Hibur Ken padaku.
Aku hanya diam tak berkata apapun. Pandanganku terasa kosong tak ada arti apapun. Hampir satu minggu setelah ibu meninggal dunia, tapi aku masih tetap terbayang-bayang oleh wajah ibu yang selalu menyayangiku. Aku tak bisa melupakan hari-hari yang kulalui bersamanya. Ibu begitu berarti bagiku, bahkan aku berfikir untuk bunuh diri agar aku bisa bersama ibu. Tapi aku juga berfikir ulang kalau aku bunuh diri, bagaimana dengan semua hal yang kulalui dengan kakak, bagaimana aku tega melihat kakak yang hidup sendiri tanpa teman maupun pendamping. Aku tahu kalau setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan.
Aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukan yang kini kurasakan, dari hari-hari kelam yang kulalui tanpa ibu, orang yang paling kucintai dan mengerti aku. Aku mencoba untuk melupakan ibu dan mencoba untuk ikhlas menerima kepergian ibu.
“ Akari! Ayo kita berangkat....jangan melamun saja. Hari ini kan hari pertamamu ujian untuk masuk akademi detektif. Jangan sampai kamu tertinggal dan tidak lulus. Kau mengerti?” . kata kakak yang memecah lamunanku dan memukul kepalaku lirih.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan kami pergi ke sekolah bersama. Dalam perjalanan terasa sangat hampa. Tak ada canda maupun tawa yang biasa kami lakukan. Sungguh membuatku sangat tidak nyaman.
“ kakak, maafkan aku. Akhir-akhir ini aku membuat kakak sibuk, aku membuat kakak selalu khawatir.” Kataku lirih.
“ jangan begitu...aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, tapi ada satu yang harus kau ketahui. Kehilangan bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan sebuah awal untuk hidup yang lebih baik, sebuah awal untuk hal yang baru pula.” Nasehat kakak.
“ aku tahu! Mulai hari ini aku akan bersemangat kembali. Aku akan berusaha lebih keras lagi dan akan ku raih cita-citaku untuk menjadi detektif yang profesional.” Aku pun bersemangat kembali.
Begitu sampai di sekolah, aku berpisah dengan kakak. Aku masuk ke ruang ujian dan bersiap untuk mengikuti ujian masuk akademi detektif, sementara kakak pergi bekerja. Aku sangat percaya kalau aku bisa menggapai semua yang aku inginkan walau tanpa ibu.
“ akari..., ternyata kau di sini. Aku mencarimu kemana-mana.” Sayo menghampiriku yang sedang berada di atap sekolah.
“ Ada apa Sayo? Kenapa kau menyusulku kemari? Ada perlu apa?”
“ Tidak......, aku tidak perlu apa-apa. Hanya saja.......” tiba-tiba Sayo terdiam.
“ Ada apa Sayo.......... cepat katakan!” Aku penasaran.
“ Begini..., aku ingin kau membaca cerita ini.” Sayo memberikan sebuah buku cerita untukku.
Terimakasih Sayo...”. Jawabku dengan sedikit senyum.
Ketika bel sekolah berbunyi, aku langsung pulang. Aku pulang dengan bis yang biasa aku tumpangi. Dan aku membaca buku yang diberikan Sayo. Aku membaca tiap kata yang penuh dengan makna. Semakin banyak halaman yang aku baca, semakin aku penasaran dengan cerita itu. Sebuah cerita detektif yang paling aku sukai, cerita yang penuh dengan tantangan. Sebuah pengorbanan yang besar yang diberikan untuk mendapatkan hal yang besar pula. Sebuah keinginan untuk mencapai yang diharapkan, keinginan dengan mengorbankan seorang yang ia cintai. Keluarga, kekasih, teman, semua dilupakan hanya demi sebuah keinginan yang bisa dibilang mustahil. Tapi dia berusaha untuk meraihnya.
Aku jatuh dalam cerita itu, dantak kusangka sudah sampai di halte dekat rumahku. Aku turun dan berjalan kaki menuju rumah yang tak jauh dari halte. Aku tetap membaca cerita itu. Aku sangat menikmati cerita itu. Dan aku merasa terinspirasi oleh cerita itu. Aku mulai mencoba untuk menjadi tokoh utama dalam hidupku. Aku akan mengatur hidupku sendiri sesuai dengan yang ku harapkan.
“ Kau sudah pulang Akari?” tanya kakak yang sedang menyiapkan makan malam.
“ Kenapa pulangmu terlambat?” lanjutnya.
“ Oh, kakak! Maaf tadi ada urusan yang harus ku selesaikan.” Jawabku sambil menuju ke kamar dengan tetap membaca buku cerita itu.
“ Nanti setelah selesai mandi dan ganti baju langsung makan.”
“ Hmmm,hmmm.” Aku menganggukkan kepalaku dan berlalu meninggalkan kakak.
Aku masuk kamar dan melakukan apa yang disuruh kakak. Ku hentikan membacaku sebentar. Setelah kulakukan apa yang di suruh kakak, aku pergi ke ruang makan. Tapi di sana tak ada kakak, aku tidak mempedulikannya. Aku tetap makan sambil membaca buku lagi. Hidupku kini seakan-akan hanya untuk buku ini.
“ Kalau makan, hentikan dulu baca bukunya.” Sabuah suara yang tiba-tiba datang dari belakang.
Aku kaget dan tersedak, lalu ku palingkan wajahku memandangnya,” Kakak, kau bikin aku kaget saja. Darimana saja kau?”
Minumlah dulu, biar tersedakmu itu tidak makin parah. Aku tadi dari rumah Bibi  Anori.” Jawab kakak kemudian duduk dan mulai mengambil makanan.
“ Kenapa ke rumah Bibi Anori?”
“ Karena aku akan pergi ke luar kota selama dua minggu ini. Ada tugas ke luar kota.”
“ Kenapa lama sekali? Sampai dua minggu segala. Kenapa aku tidak di ajak?” Aku mulai cemberut.
“ Ha...ha...ha..., kau kan sudah besar. Lagi pula kau sekarang ujuan nasional. Pikirkan saja ujianmu. Belajarlah dengan baik dan lulus sebagai yang terbaik.” Kakak membelai rambutku lembut. Dan kami melanjutkan makan malam kami.
Keesokan harinya aku berangkat bseperti biasanya. Tapi ada yang sedikit berbeda, hari ini kakak akan pergi ke luar kota. Dan dia pergi selama dua minggu. Sebenarnya aku merasa berat untuk membiarkan kakak pergi, tapi kalau kakak tidak kerja siapa yang akan membiayaiku?
“ Akari, ku dengar kakak mu ke luar kota.” Kata Ken yang menyambutku di depan pintu gerbang.
“ Hem, hem,” Ku anggukkan kepalaku.
“ Lalu siapa yang akan menemanimu di rumah? Apakah kau tak takut sendirian?”
“ Pokoknya ada yang menemaniku di rumah, yang jelas bukan kau! Lagi pula aku sudah terbiasa sendiri di rumah, jadi aku takkan takut. Akukan calon detektif profesional gitu.....”
“ Kau ini bercanda saja.”
“ Hai, ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu harusnya masuk ke kepolisian?” kataku penasaran.
“ ya, memang. Tapi aku juga ingin mencoba keberuntunganku di bidang detektif.”
“ Aku yakin kamu tidak akan beruntung di sini.”
“ Kenapa.....?”
“ Karena aku yang akan beruntung!” kataku pede.
Kami bicara sambil berjalan menuju ruang ujian. Dan setibanya di ruang ujian, kami duduk di tempat kami dan bersiap untuk mulai ujian.
Hari-hari ujian ku lalui tanpa kakak yang sedang pergi ke luar kota. Aku akan berusaha dengan keras supaya aku bisa masuk ke akademi detektif ini, seperti yang kakak pesan padaku.
“ Hai Akari.....nomer 47 apa jawabannya?” Ken yang memukul-mukul bangkuku lirih, meminta jawaban.
“ Ini!” kuberi dia secarik kertas, supaya tidak ketahuan penjaga.
Dia membuka kertas yang kuberikan padanya. Dan tertulis di kertas itu................,” Hai Ken, kamu mau nyontek no 47? Aduh...kamu aja ga tahu apa jawabannya, apalagi aku...,”
“ Akari! Kau mengejekku ya...”
“ Jangan keras-keras....” kataku lirih.
“ Apa?!”
“ Kenji Hagane! Kenapa ribut sendiri?” teriak penjaga ujian.
“ Maaf pak...., aku akan diam. Ok..” kata Ken menahan malu.
“ Cepat keluar! Kau di diskualifikasi.”
“ Tapi pak,,,”
“ Tidak ada tapi-tapian, apakah kau tidak baca peraturan ujian?”
“ Hmm...belum pak,”
“ Kau ini bagaimana?! Kau sudah melanggar peraturan ujian no 39 pasal A yang berbunyi, peserta dilarang bersuara keras saat ujian berlangsung. Dan hukumannya adalah peserta harus didiskualifikasi dari ujian ini. Apakah sekarang kau mengerti?” kata pengawas dengan suara kerasnya.
“ Iya pak....” Ken keluar kelas dengan wajah yang lesu, seakan ia ingin berkata kalau dia tidak mau keluar.
Aku hanya tertawa kecil melihat sikap Ken yang lucu. Tapi aku juga kasihan padanya yang harus menyerah sebelum berperang.  Saat ujian telah selesai, aku dan Ken tidak langsung pulang tapi kami pergi ke supermarket. Kami belanja beberapa persediaan makan untukku.
“ Akari, kenapa tadi kau tidak ingatkan aku?
“ Aku tadi sudah berusaha untuk mengingatkanmu, tapi kau tak mendengarku.”  Jawabku agak tak peduli.
“ Mungkin ...aku memang tak ditakdirkan untuk ikut akademi detektif ini.” Kata Ken santai.
“ Bukannya aku tadi sudah bilang, kalau kau tak mempunyai keberuntungan di akademi ini. Lai pula kau sudah magang di kepolisian, jadi buat apa kau ikut tes ini?”
“ Ah...., kalau semakin ku pikir, semakin menyakitkan hatiku. Lebih baik kau cepat pilih makananmu dan kita pulang.”
Aku pun memilih makanan yang akan mengganjal perutku selama seminggu kedepan. Dan Ken, hanya terlihat seperti orang yang baru di PHK. Sangat kusut dan tak bersemangat. Setelah selesai memilih makanan, kami membayar ke kasir.
“ Semuanya 700 yen.” Kata kasir yang bertugas.
“ Ini,” aku menyerahkan uangnya dan aku merasa pernah melihat orang ini. Aku mencoba untuk mengingat siapa orang ini.
“ Sayo!? Kau Sayokan?” tanyaku penasaran.
Kasir itu memandangiku dengan seksama mencoba mangingat siapa diriku.
“ Akari!”
“ Iya..., kau ini. Baru beberapa  hari tak bertemu sudah lupa sama aku.”
“ Maaf, ingatanku tak begitu baik. Kau kesini dengan siapa?”
“ Dengan Ken. Mau kupanggilkan?”
Boleh juga, aku juga sudah rindu dengannya. Tapi aku kerja dulu, kalian tunggu di kafe depan. Aku akan ke sana.” Sayo kemudian melayani pelanggan lain.
Aku mengajak Ken ke kafe seberang untuk menunggu Sayo. “ Kenapa kau mengajakku ke kafe depan?” tanya Ken. Aku hanya diam, tak ku jawab pertanyaan Ken. Dan aku terus berjalan menuju kafe yang diikuti Ken.
“ Hmm.....” Ken tersenyum licik.” Aku tahu...” tiba-tiba langkah Ken berhenti, dan akupun berhenti sembari menatapnya.”Kau mengajakku berkencan ya..?” ceplosnya.
“ Enak saja! Tak pernah aku berfikir untuk berkencan denganmu. Ga asyik.” Ledekku.
“ o…begitu? Ku pikir kau sudah mulai jatuh cinta padaku. Secara, akukan anak yang tampan, baik hati, cerdas, tidak sombong, lugu....”
“ Terus saja puji dirimu sendiri. Itu takkan berguna untukku.” Selaku sebelum Ken melanjutkan kata-katannya.
Kami duduk di meja dekat jendela supaya saat Sayo datang, dia tak perlu lagi mencari kami karena kami terlihat dari jendela. Kam memesan minuman dan ngobrol agar tak terasa bosan saat menunggu Sayo. Tapi semakin lama, akupun semakin bosan dan Sayo tak kunjung datang. Aku juga semakin lelah dan kuputuskan untuk pulang saja. Begitu aku ingin berdiri, tiba-tiba Sayo datang menghampiri kami.
“ Hai guys, maaf membuat kalian menunggu. Tadi ada pekerjaan tambahan sedikit.” Kaanya seolah ia tidak bersalah karena membuat kami menunggu.
“ Ya, aku maafkan tpi dengan satu syarat,”
“ Syarat apa Ken?” Sayo penasaran.
“ Syaratnya adalah, kau harus membayar semua minuman ini.”
“ Baiklah, tak masalah. Eh, tapi...ngomong-ngomong, kalian ini pacaran ya? Kok terlihat kompak dan...”
“ Dan apa?!” sahutku.
“ Dan mesra.”
“ E,enak saja! Kami ini tidak pacaran. Kami hanya teman biasa kok,” kataku menahan malu.
“Wah...lihat tuh Ken! Pipinya Akari memerah. Kayaknya...ada yang malu nich...”
“ Apa sich...” aku bertambah malu. Sementara Ken dan Sayo tertawa melihatku.
“ Tenang Akari, aku hanya bercanda kok... tapi kalau beneran kalian berpacaran, aku juga mendukung kok.”
Kami mengobrol segala hal, kami melepas rindu yang terpendam di hati kami selama beberapa hari tak bertemu ini. Kami bernostalgia walaupun aku merasa bukan saat yang tepat untuk bernostalgia, karenakan baru beberapa hari tak bertemu. Ya kalau bertahun-tahun tak bertemu ya ga papa, tapi tak ada kata lain yang ku tahu selain nostalgia, jadi maklumi aja.
Seminggu melewati ujian yang sangat membingungkan dan membosankan. Dan hari ini adalah penentuan usaha dan kerja kerasku selama ini. Dag...dig...dug...detak jantungku keras, serr...serr...serr...bunyi darahku yang mengalir tak beraturan. Cenat cenut seluruh tubuhku menanti pengumuman apakah aku diterima atau tidak. Tanganku berubah menjadi dingin, sedingin salju. Keringatku mulai keluar, menanti detik-detik  engumuman.
“ Pengumuman siswa baru yang diterima dapat dilihat di papan pengumuman.” Kata seorang panitia dengan menggunakan pengeras suara.
Seluruh calon mahasiswa berkerumun di tiap-tiap papan pengumuman yang ada di akademi itu. Aku melihat nama-nama dari tiap daftar dengan penuh sesak. Ku cari-cari dengan harapan yang selalu ter panjatkan di hati ini. Kuurutkan dari atas sampai ke bawah dan saat ku lihat no 45, tercatat nama Akari Kenzo. Itu adalah namaku, aku melompat kegirangan seketika itu pula. Tak kusangka, akademi yang begitu favorit dan mencetak berbagai detektif handal manerimaku sebagai mahasiswanya.
Aku tak sabar ingin memberitahu kakak tentang kabar bahagia ini.  Aku yakin kakak akan bangga padaku dan ibu yang di surga pasti juga begitu. Kumasukkan no telepon kakak dan ku tekan call.
“ Ayo...angkat kak...” desahku tak sabar. Aku menunggu beberapa detik, dan kemudian ada sebuah jawaban.
“ Akari, ada apa? Kenapa tiba-tiba menelpon?”
“ Kak, aku punya kabar gembira untukmu.”
“ Apa itu? “
“ Aku masuk akademi detektif Kazezawa Detective. Dan aku akan mulai sekolah minggu depan. Bagaimana? Aku hebatkan...”
“ Waw! Kau memang adikku yang pandai. Nanti kakak akan pulang, dan kita rayakan ini di rumah. Lagipula pekerjaanku sudah selesai.”
“ Benarkah? Wah....asyik, jangan lupa beli oleh-oleh yang enak dan banyak.” Kataku riang.
“ Ok! Aku tu....”
“ Hallo...kak...? kau masih di situ?” tanyaku yang mulai cemas.
“ Iya, hpku jatuh nich...” suara kakak yang samar-samar.
Aku menunggu kakak berbicara. Tiba-tiba..., AAAAKKKKHHHH! Kakak berteriak dan terdengar suara pecahan kaca. Perasaanku mulai tak enak, aku merasa ada yang terjadi dengan kakak. Dan aku berusaha memanggil-manggil kakak di telepon, tapi talk ada jawaban apapun dari kakak. Yang terdengar hanya bunyi klakson dan orang-orang yang kebingungan.  Kemudian teleponku terjawab oleh seseorang,
“ Hallo, nona. Apakah nona saudaranya yang mempunyai telepon ini?” suara seseorang yang tak kukenal.
“ Ya, ada apa dengan kakakku? Apakah dia baik-baik saja?” jawabku cemas.
“ Kakak nona mengalami kecelakaan dan kami membawanya di rumah sakit Ishizawa medical centre. Kau bisa menemuinya di sana. Kami tidak dapat memastikan keadaan kakak nona.”
“ Baiklah, aku akan ke sana. Tolong lakukan pertolongan pertama untuk kakakku.” Aku semakin cemas dan ku tutup langsung telepon itu..
Aku menelepon Ken dam kuberitahu dia bahwa kakak kecelakaan. Aku dan Ken langsung menuju rumah sakit yang di beritahukan oleh penolog kakak ku.
“ Bagaimana dok keadaan kakak ku? Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku dengan cemas.
“ Kami belum bisa memastikannya. Kami harus melakukan operasi karena ada beberapa tulang kakinya yang patah dan otaknya mengalami benturan yang sangat keras. Kemungkinan untuk bertahan sangat sedikit, kalaupun bisa selamat, dia akan lumpuh selamanya.”
eBegitu mendengar perkataan dokter, tangisku pecah. Aku menangis di pelukan Ken. Aku tak bisa percaya bahwa orang yang paling aku sayangi dan satu-satunya kaluargaku kini menghadapi hidup dan matinya.
“ Ha...ha...ha... bukankah ini yang kau inginkan Akari?” suara misterius yang tiba-tiba terniang di telingaku. Suara yang sama ketika ibu meninggal.
Aku merasa semakin ketakutan.
“ Kenapa kau harus menangis? Kenapa kau harus takut? Bukankah aku pernah bilang padamu, aku adalah kau. Dan aku mengerti apa yang kau mau.
 Aku menutup telingaku dan berteriak,” Diam kau! Aku bukanlah kamu!”
“ Apa yang kau katakan Akari?” Ken bertanya heran.
“ Ken, suara yang datang saat ibu meninggal datang kembali. Aku takut...”
“ Tenanglah...itu hanya halusinasimu saja.”
“ Tidak! Aku yakin ini kenyataan, bukan halusinasiku.” Yakinku sembari menahan tangis.
“ Aku tak akan membiarkanmu menda[patkan kebahagiaan. Karena takdirmu adalah pembunuh, bukan penolong.... ingat itu Akari. Aku akan selalu membayangimu....” sura itu muncul lagi dan lambat laun menjadi semakin tersamarkan oleh orang-orang yang berjalan hilir berganti di rumah sakit itu. Setelah 2 jam menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi.
“ Bagaimana dok....?” tanyaku sangat cemas.
“ Operasinya berhasil, tapi...kami belum bisa pastikan kapan dia sadar. Kami rasa kakakmu akan koma.” Terang dokter padaku.
“ Berapa lama kakakku akan koma dok?”
“ Kami tak tahu. Berdoalah semoga ada keajaiban yang datang menghampiri kakakmu.” Dokter berlalu meninggalkanku dan Ken. Tubuh kakak yang terbaring dan terbalut kabel-kabel dipindahkan dari ruang operasi ke sebuah kamar.
“ Suster, apakah saya boleh melihat kakak?”
“ Maaf nona, untuk saat ini jangan. Kondisinya masih belum stabil karena baru saja dioperasi. Jadi nona jenguk saja besok.” Suster keluar dari ruangan kakak setelah memeriksanya.
Aku hanya bisa melihat kakak dari balik kaca. Aku tak kuat melihat kakak yang terbalut kabel di sana-sini. Infus, alat bantu pernafasan, kabel monitor, semua terpasang di tubuh kakak. Aku tahu kakak pasti tak nyaman merasakan itu.
Kemudian Ken mengajakku pulang untuk beristirahat. Aku terpaksa meninggalkan kakak sendirian di tengah suasana rumah sakit. Aku tak tega melihat kakak seperti ini. Rasanya aku ingin menggantikan kakak, aku tak tega melihatnya. Aku ingin sekali menghukum diriku ini, karena gara-gara aku kakak jadi seperti ini. Andai tadi aku tahu kakak sedang mengemudi mobil, aku tak akan menelponnya dan semua ini takkan terjadi padanya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tak sedikitpun kakak tersadar, dia hanya terdiam membisu dengan selang oksigen di hidungnya.
“ Akari, jangan melamun saja...nanti kemasukkan setan loch.....” ledek Ken padaku.
“ Kau Ken, aku tidak melamun. Hanya saja.....”
“Hanya apa?”
“Aku bingung, kenapa suara misteri yang dulu terdengar saat ibuku meninggal datang kembali.”
“Suara apa? Mungkin hanya halusinasimu....aku tak mendengar apapun.”
“Suara itu begitu terdengar jelas Ken........Percayalah padaku.”
“Sudahlah...jangan terlalu dipikir keras, kita jalani hidup yang kini jadi takdir kita.”
***
Empat bulan sudah kakak koma dan aku juga harus pulang pergi kampus, rumahsakit. Aku berusaha untuk kuat dengan keadaan yang kini aku alami. Aku tak ingin membuat kakak kecewa padaku. Tapi keadaan kakak tetap tak ada perkembangan yang berarti, dan uang yang selama ini kakak kumpulkan harus terkikis habis untuk biaya kuliah dan pengobatan kakak. Aku harus pintar memutar otak untuk mencari kerja.
“Nagawa, apakah ada lowongan kerja di kantormu?”
“Maaf Akari, tapi tak ada lowongan. Lowongannya sudah terisi.”
“Benarkah? Terimakasih kalau begitu.”
Aku sudah berusaha dengan keras, tapi tak ada satupun lowongan yang kudapatkan. Aku duduk di kantin sekolah dan tiba-tiba telepon berbunyi,
“ Hallo...ya saya sendiri,ada apa pak?” seorang polisi menelponku.
“Begini nona, ternyata kakak anda tidak mengalami kecelakaan. Akan tetapi dia sengaja di tabrak atau tepatnya sengaja ingin dibunuh.”
“Apa?! Benarkah pak?” aku seketika itu juga berdiri kaget. “ Baik pak, saya akan segera ke sana.”
Aku berlari mencari taksi untuk mengantarku ke kepolisian. “ Akari, kau mau kemana?” tanya Ken hendak menghentikan lajuku.
“ Maaf Ken, aku buru-buru.” Jawabku berlari terus tanpa menghiraukan Ken.
Begitu aku mendapatkan taksi, aku segera melesat menuju ke kantor polisi. Di sana aku menemui seorang polisi yang menangani kasus kakakku.
“ Ini nona, bukti yang dapat kami kumpulkan. Kami belum bisa memastikan apakah alamat itu benar atau salah. Kami hanya dapat memastikan kalau orang yang ingin membunuh kakak anda berada di daerah Hokaido.” Terang polisi itu padaku.
“Apa motif dia ingin membunuh kakakku pak?” rasa ingin tahuku yang begitu besar.
“Kami belum bisa menyimpulkannya secara benar, tapi dilihat dari cara ia ingin membunuh kakak anda, saya kira dia hanya suruhan. Dan ada otak di belakang kasus ini. Dan saya kira motifnya adalah saingan kerja.”
“O...begitu. Kalau begitu saya permisi dulu, nanti kalau ada kabar yang baru, tolong hubungi saya.” Aku pamit begitu tahu alamat pembunuh atau tepatnya percobaan membunuh kakakku.
Keesokan harinya, aku pergi ke Hokaido. Mencari tahu apakah alamat itu benar, lagi pula aku juga sudah mengantongi plat nomor mobil yang digunakan pelaku.
Begitu aku sampai di sana, aku memeriksa dengan detail nomor rumah dan mobil di setiap gangnya. Aku tak ingin kecolongan pelaku dan aku juga berburu dengan waktu. Aku ingin menemukan pelaku itu sebelum polisi menemukannya.
Lalu setelah lima hari mencari, akhirnya aku menemukan apa yang selama ini kucar.aku menghampirinya dan aku ingin tahu sebuah kejelasan atas peristiwa ini semua.
“Apakah kau yang bernama Omimura Hagane? Atau tepatnya biasa di panggil Hagane the cold killer?”
“ Kau benar gadis manis..., aku Omimura Hagane. Siapa kau? Apa kau sedang butuh pelayananku?”
“Tidak. Aku tidak butuh pelayananmu, yang kubutuhkan adalah kejelasan darimu.”
“Apa maksudmu? Kejelasan tentang apa?”
“Tentang orang yang ingin kau bunuh dengan menabraknya.”
“Apa? Sebenarnya kau ini siapa?” pembunuh itu mulai menampakkan rasa takutnya.
“Aku...adalah Akari Kenzo. Adik dari orang yang ingin kau bunuh.”
“Apa? Ka...kau, adik dari Kyosuke...?” pembunuh itu semakin gemetar dan dia mencoba untuk kabur dalam keadaan malam.
“Kau mau kemana?” Suaraku mulai bercampur dengan suara yang besar dan menakutkan.
“Ku mohon....ampuni aku....Aku hanya orang suruhan kok........” dia berlari dalam kegelapan malam yang sunyi. Mataku tiba-tiba berubah menjadi pandangan dingin penuh nafsu membunuh dan suaraku menjadi sangat menakutkan.
“Apa kau berniat untuk kabur? Kau takkan bisa kabur dariku...” Aku mendekatinya dengan penuh nafsu membunuh.
“Ku mohon...jangan bunuh aku...” pelaku itu berlari dengan rasa ketakutan dan mencoba menghindar dari kejaranku.
Tanpa aku sadari, tiba-tiba aku sudah berada di depan orang itu. Dan tanpa basa basi ataupun mendengar rintihan minta ampun dari pelaku, aku membunuhnya. Begitu aku sadar....
“Apa yang aku lakukan? Kenapa dia sudah mati?” aku terlihat seperti orang yang kebingungan dan ketakutan. Dan tanpa memperdulikan dia, aku pun segera meninggalkan lokasi dan pulang ke Kyoso. Dalam perjalanan aku terus memikirkan apa yang terjadi pada pelaku itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa mati seperti itu?” pikirku.
Keesokan harinya ada telepon dari kantor polisi.
“Ya, ada apa pak?”
“Begini nona, kami baru saja mendapat kabar kalau orang yang mencoba membunuh kakak nona sudah mati. Mayatnya ditemukan pagi ini.”
“Benarkah? Apa penyebab kematiannya?”
“Menurut polisi Hokaido, dia mati karena jantungnya mengalami pecah. Padahal kata tetangganya dia baik-baik saja. Dan mustahil jantung bisa pecah kalau tidak karena suatu yang sangat mengagetkan atau hal yang lebih bisa dimasukkan ke akal. Tapi dia mengalami pecah jantung dalam semalam.”
“kalau begitu terimakasih atas infonya pak...”
“Apa ini karena ulahku semalam? Tapi apa yang aku lakukan semalam?” aku berfikir keras.
“Hai Akari!” Ken menghilangkan lamunanku.
“Kau Ken? Kenapa kau mengagetkanku?”
“Habis...kau seperti patung, hanya berdiam diri dan melamun ditambah pandangan kosongmu yang menakutkan.”
“Benarkah?”
“Hm...hm...”Ken menganggukkan kepalanya.
“Ken...,aku berfikir ada yang aneh dalam diriku. Terkadang aku merasa kalau aku bukanlah aku. Apakah aku seorang psikopat?”
“Ha...ha...ha...kau ini ngomng apa sich? Lucu sekali.”
“Aku tidak bergurau Ken! Aku serius...”
“Aku juga serius, apa kau terlihat seperti psikopat?! Apa kau bertingkah seperti psikopat?” Ken berkata dengan nada marah yang tak pernah ku dengar sebelumnya.
Aku hanyAku hanya menggelengkan kepala dan mulai keluara menggelengkan kepala dan mulai keluar air mataku.
“Maafkan aku....aku tidak bermaksud membuatmu menang“Maafkan aku....aku tidak bermaksud membuatmu menangis.” Ken memelukku yangen memelukku yang sedang menangis.
“Menangislah, menang sedang menangis.
“Menangislah, menangislah sesukamu. Dada ini akan selalu ada untukmu menangis, jangan biarkan air matamu menghalangi pandanganmu. Keluarkan semua air matamu jika itu bisa membuatmu merasa lebih nyaman.”
***
Setelah hampir seminggu kasus kakak diselidiki,kepolosian sudah menetapkan kalau kasus kakak murni percobaan pembunuhan. Setelah orang yang ingin membunuh kakakku terbunuh, kasus ini dinyatakan ditutup. Aku merasa lega karena kasus kakak akhirnya berakhir, tapi aku juga belum bisa bernafas lega karena kakak masih terbaring dalam keadaan antara hidup dan matinya. Aku selalu berdoa agar kakak segera sadar dari komanya. Tapi dalam sebagian dari diriku yang tak yakin kalau kakak akan membuka matanya kembali. Aku terus berusaha percaya kalau keajaiban pasti akan datang pada kakakku.
“Maaf nona Akari, bisa bicara sebentar?”
“Baik dok.” Aku berdiri meninggalkan kakak dan pergi keruangan dokter.
“Ada apa dok?” Aku penasaran.
“Oh, nona Akari. Silakan duduk dulu.” Dokter mempersilakanku duduk. Kemudian aku duduk dan dokter mulai membicarakan apa yang ingin ia katakan.
“Nona, sudah hampir empat bulan lebih kakak anda tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Dan kami tim dokter yang menangani kakak anda mulai putus asa. Jadi kami memutuskan untuk memberikan suntik mati kepada kakak anda.” Jelas dokter padaku.
“Apa! Apa dokter gila?! Kakak saya itu bukan boneka yang bisa dimusnahkan seenaknya. Apa dokter tak pernah merasakan kehilangan? Kakak masih hidup, dan dia akan segera sadar.” Aku berteriak keras dan air mataku keluar lagi.
“Karena saya sudah pernah merasakan kehilangan...saya mengatakan ini kepada nona. Saya tidak mau kalau nona menunggu lama dan berharap terlalu besar untuk kesadaran kakak anda tapi kenyataan tidak seperti yang nona inginkan. Itu sangat menyakitkan.”
“Aku mengerti dok...tapi tidakkah dokter tahu kalau kakakku sedang berjuang dengan maut. Apakah adil untuknya jika dia berjuang habis-habisan untuk tetap hidup tapi kita malah membunuhnya. Aku lebih banyak merasakan kehilangan dalam hidupku ini, tak ada satupun kebahagiaan ini yang berpihak padaku. Aku sudah tak memiliki siapapun di dunia ini kecuali kakak, jadi dok...jangan pernah membunuh kakakku!” Aku segera pergi meninggalkan ruang dokter tanpa kata apapun.
Takku sangka dokter akan melakukan ini padaku. Kukira dokter mendukungku dengan kata-katanya selama ini. Mereka selalu bilang kalau kakak akan sadar dan masih ada harapan kalau kakak akan sembuh. Ternyata dibalik semua itu mereka memberiku harapan kosong yang juga mustahil untuk terjadi.
***
Pagi yang cerah dihari yang baru, dan aku berharap kalau hari ini aku akan lebih baik dari hari kemarin. Aku berharap semua indah seindah bunga yang mekar, semua lembut selembut sapaan cahaya sang surya pagi dan sesejuk embun pagi.
“Hallo, saya Akari. Apa! Benarkah sus? Ok, saya akan segera kesana.”
Aku segera berganti baju dan melesat menuju rumah sakit dimana kakak dirawat. Ternyata hari yang aku inginkan sepertinya takkan pernah ada dalam hidupku. Semua hari yang kubayangkan hilang seketika setelah apa yang kudengar dari suster rumah sakit. Dan setibanya disana,
“Ken apa yang terjadi?” Aku bertanya pada Ken yang kebetulan sedang ada dalam rumah sakit itu.
“Ini adalah pembunuhan. Dokter yang menangani kakakmu terbunuh semalam. Aku tidak tahu pasti siapa yang membunuh karena sedikit barang bukti atau bahkan hampir tak ada dan juga saksi mata yang tak ada. Kau sabar ya...” Ken kembali menyelidiki kasus ini.
Setiap suster dimintai keterangan, kapan terakhir mereka bertemu dengan dokter itu dan lain sebagainya. Begitu juga aku, Ken mengintrogasiku karena memang terakhir kali dokter itu  bicara padaku.
“Jadi kemarin kau bertemu dengannya?”
“Memang, kemarin dia memintaku untuk datang keruangannya karena ia ingin berbicara tentang kakak.”
“Apa yang ia bicarakan?”
“Jangan kau tanya itu. Aku tidak mau membahasnya Ken...”
“Kumohon Akari..bantu aku dalam memecahkan kasus ini. Hanya kau yang bisa membantuku.”
“Dia...dia ...ingin memberikan suntik mati untuk kakak. Itu yang ia bicarakan padaku.”
“Apa?”Ken terlihat shock.”Apa kau tidak bercanda? Bagaimana bisa?”
“Aku tidak bercanda. Itu yang sebenarnya, setelah itu aku langsung pulang dantidak bertemu lagi dengannya.”
“Ok. Terimakasih Akari atas keteranganmu, ini sangat membantu. Kau jangan berputus asa, kakakmu akan sadar.”Ken meninggalkanku.
“Ken!” Ken berhenti dan membalikkan badanya kearahku. “Apa kau yakin akan hal itu? Kau yakin kalau kakak akan sadar kembali dan dia akan bersamaku untuk selamanya?” Aku meminta kepastian padanya.
“Tentu saja. Aku percaya kalau keajaiban akan datang padamu dan kakakmu. Percayalah padaku.” Dia tersenyum penuh keyakinan di hatinya padaku, seakan dia ingin mengajakku untuk juga percaya dengan apa yang dia katakan. Aku tidak jadi ingin menangis begitu melihat keyakinannya yang terpancar dari wajahnya itu, melainkan aku ingin tersenyum  seperti yang ia lakukan.
Dan akhirnya pihak rumah sakit mengganti tim dokter untuk kakakku. Aku merasa senang karena pihak rumah sakit masih mau membantuku untuk menyadarkan kakakku kembali. Aku juga berharap kalau dokter ini tidak akan memintaku untuk menyetujui kakak untuk diberi suntik mati. Aku semakin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ken kalau keajaiban pasti akan datang padaku dan kakak.
***
Hampir seminggu kasus ini bergulir, tak satu polisi atau intelejent yang bisa mengungkap kasus ini. Dan sekali lagi aku harus dipanggil oleh dokter yang menangani kakakku. Dan permintaan mereka sama seperti dokter sebelumnya, mereka ingin aku menyetujui pemberian suntk mati pada kakakku.
“Dok! Harus berapa kali aku mengatakan, kalau aku tidak akan memberi kakak suntik mati.” Aku penuh emosi.
“Tapi ini demi kebaikan nona dan kakak nona.”
“Aku tidak mau tahu apapun alasannya. Tetap, aku tidak akan mau memberi kakak suntik mati.” Aku pergi dari ruang dokter dengan emosi yang sudah pada batas siaga satu dan siap untuk meledak.
“Ken...ada yang ingin ku bicarakan padamu. Aku ingin bertemu denganmu sejam lagi di tempat biasa.” Aku menelpon Ken dengan tergesa-gesa.
“Ada apa Akari? Kenapa tadi kau terlihat tergesa-gesa dan suaramu sedikit parau?”
“Aku ingin bilang kalau yang membunuh orang yang ingin membunuh kakak dan dokter itu adalah aku.”
“Ha! Bercandamu tidak lucu,”
“Kau fikir aku bercanda? Aku serius Ken. Setelah aku tahu kalau kakak tidak kecelakaan melainkan ingin dibunuh, hatiku seketika itu marah dan aku merasa ada yang menguasai hatiku. Dia seakan-akan membimbingku untuk mencari alamatn pembunuh itu dan membunuhnya. Begitu pula dengan dokter itu. Sebelum dia memintaku untuk menyetujui pemberian suntik mati kepada kakak, aku merasa baik-baik saja. Tapi setelah dia memintaku untuk menyetujuinya, hatiku rasanya seperti terbakar dan aku ingin sekali marah. Apakh itu tidak cukup untuk membuktikannya?”
“Akari...rasa marah itu wajar saja ada pada setiap orang. Dan marah tidak bisa digunakan untuk bukti kalau kau yang melakukannya. Aku tidak percaya kalau kau pembunuhnya.”
“Tapi Ken...kau menemukan motif yang sama pada kedua mayat itu kan? Motif burung gagak yang merupakan motif kegelapan, kebencian, dan penderitaan. Dan motif itu sama seperti yang ada dalam kalungku.”
“Akari! Motif yang sama bukan berarti kasus ini saling berterkaitan. Dan lagi, banyak orang yang memiliki kalung yang kau pakai. Pabrik tidak memproduksinya hanya satu, tapi banyak. Jadi jangan kau ungkit-ungkitkan hal ini.” Ken semakin emosi dan pergi meninggalkanku
“Ken...! Jika kau tidak percaya, datanglah ke rumah sakit pada hari senin malam dini hari, karena pelaku itu akan membunuh dokter baru yang menangani kakakku yang meminta untuk menyetujui pemberian suntik mati. Kau akan tahu siapa pelakunya dan kau akan percaya dengan apa yang aku katakan padamu hari ini.”Aku menahan tangisanku.
Ken tak memperdulikan apa yang aku katakan padanya, dia berlalu begitu saja meninggalkanku. “Ken...aku akan senang sekali jika kau yang membunuhku. Aku merasa sudah tak kuat lagi menjalankan hal ini. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kalau memiliki dua jiwa dalam tubuh ini. Aku sudah tak sanggup lagi menahan jiwa jahatku untuk tidak keluar, aku ingin mengakhiri semua ini dan aku ingin kau yang mengakhirinya. Aku ingin kau yang membunuhku, hanya ini satu-satunya cara. Ken, sesungguhnya aku cinta padamu....aku ingin selalu bersamamu selamanya, tapi apalah daya jika aku memang harus ditakdirkan begini. Aku berharap kau akan menemukan wanita lain yang lebih baik dari pada aku.” Itu yang aku pikirkan saat ini.
Aku tahu bahwa senin malam aku akan membunuh dokter baru itu. Aku sangat yakin akan melakukannya, tapi ada satu hal yang tak habis aku pikirkan. Kenapa aku bisa aku tak bisa berkata apapun pada siapapun. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh sisi jahatku. Apa yang ingin dia lakukan pada Ken?
***
Jam telah berdentang menunjukkan pukul 00.00. Tanpa ada kontrol dari diriku yang sadar, aku sudah berada di atap rumah sakit. Aku mulai memasuki ruangan demi ruangan tanpa ada yang mengetahuinya. Tak berapa lama kemudian aku menemukan ruangan dokter baru itu dan aku memasukinya.
“Bagaimana dok...? Kau sudah siap mati?” Kataku dengan nada berat.
“Sepertinya kau salah orang?”
Sebuah kata yang aku kenal dengan begitu jelas. Begitu kursi dibalikkan...
“Kenapa kau tidak membunuhku? Apa kau takut padaku?”
Ternyata itu adalah Ken. Seluruh badanku sontak gemetar, aku tak kuat mengangkat pedang yang aku bawa, aku tak bisa bergerak lagi. Sebagian jiwaku yang sadar mencoba untuk menghentikan sisi jahatku melakukan kejahatan lagi. Tapi bagian jahatku terus mendesak untuk menguasai tubuh ini.
“A...! Aku akan membunuhmu!” teriakku menahan sakit ini. Pedangku mulai terangkat, tapi jiwa baikku mencoba untuk menahannya. Ini sungguh menyakitkan bagiku, dua jiwa yang bertolak belakang mencoba untuk saling menjatuhkan dan mencoba untuk menguasai tubuh ini.
“Apa kau bercanda? Inikah pembunuh yang terkenal sadis dan profesional?”
“Kau menghinaku atau memujiku?” Kataku dengan tatapan membunuh.
“Menurutmu?” Ken menodongkan pistolnya padaku.
Aku merasa bahwa ini adalah akhir perjalananku. Aku merasa sangat bahagia..., aku merasa inilah jalan yang terbaik untukku. Aku memejamkan mataku dan berharap Ken akan menembakku.
“Ah! Apa yang kau lakukan Ken?” Aku tebelalak kaget.
“Aku akan melindungimu, takkan kubiarkan kau mati.”
“Lepaskan Ken, lepaskan pelukanmu ini.” Aku mencoba melepaskan diri.
“Tidak akan pernah.” Ken tetap memelukku erat.
Tiba – tiba...
“Kau takkan bisa menyelamatkan gadis ini. Dia adalah milikku.” Kegelapan kembali menguasaiku dan Kenpun melepaskan pelukannya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan dengan Akari?”
“Ha...ha...ha...aku tidak melakukan apapun pada gadis ini. Aku hanya menuruti apa yang ia inginkan.”
“Kau bohong! Jika kau memang kuat, keluar dari tubuh Akari dan bertarunglah denganku.”
“Ha...ha...ha...apa kau bercanda? Kau takkan mampu mengalahkanku. Aku akan membunuhmu dengan sekali serangan.”
“Jangan sombong kau! Aku yang akan memaksamu keluar dan membunuhmu. Hya....” Ken menyerangku dengan pedang yang aku bawa tadi.
Aku atau mungkin hati gelapku menghindar dari setiap serangan yang Ken berikan.
“Apa segini kemampuanmu?” Aku mengunci gerakan Ken dan ku todongkan pedang yang ia pakai dilehernya.
“Matilah ka.....Apa ini...?” Aku menjatuhkan pedangku.
“Jangan bunuh Ken!” kataku.
“Kau ingin kembali? Itu tidak akan pernah terjadi. Aku yang akan menguasai tubuh ini dan aku akan menghilangkanmu.” Kata hati gelapku.

1 komentar:

  1. best of titanium for sale - T-16T-16 | The Silicon Art Shop
    T-16T-16 is a powerful piece of hardware, so titanium nail it's easy titanium curling iron to get started with just one piece titanium rings of hardware, like the original and used for is titanium a metal many titanium eyeglasses of

    BalasHapus